Pada masa dulu kala, tatkala ada warna hadir dalam ruang kosong yang berantakan, angin berhembus melambai lambai isi ruangan.
Ruang kosong itu pernah tercipta dari dua tangan manusia penuh harap, pernah ia redup, terang, berantakan, redup, lalu terang lagi saat menemukan cat indah yang melukis warna terang dalam ruang tersebut.
Seakan kebahagiaan itu tercipta disebabkan oleh warna indah yang melukiskan berbagai ukiran kompleks juga sederhana. Terkadang ia berwarna merah jambu, biru, putih, pernah juga berwarna kelabu.
Warna itu bertahan dalam kualitasnya selama satu windu ditambahkan 5 tahun lamanya.
Sampai suatu ketika, di pertengahan tahun, di musim panas, di masa tawa riang anak usia 6 tahun menikmati masa belajar di sekolah barunya, badai datang.
Laksana kathrina, badai yang menghapus jejak berkerak.
Gemuruh itu perlahan teredam oleh cahaya Illah dari lapisan langit entah keberapa. Seperti sebuah hidayah yang menyadari pendosa dalam lubang kesalahannya.
Para pembangun bergotong royong berkontribusi memperbaiki ruangan itu. Mencoba menyelamatkan ruang berharga milik seseorang yang bagi - salah satu pelukis- itu tak berharga.
Sudah.. Ruang itu kembali kosong. Tanpa warna. Kembali terbentuk meski tidak dalam posisi sempurna. Seperti pada saat sebuah kata tercipta "Bahwa aku akan baik-baik saja".
@ICM.SCH.BSD
11 Januari 2016
“Maka nikmat Tuhan manalagikah yang engkau dustakan”.